Quo Vadis Program Makan Bergizi Gratis di Pesantren: Meninjau Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan
Nasional

Quo Vadis Program Makan Bergizi Gratis di Pesantren: Meninjau Tantangan Implementasi dan Jalan ke Depan

Jakarta – Pondok pesantren memegang peranan krusial dalam lanskap pendidikan nasional, sehingga keputusan mengintegrasikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) ke dalamnya merupakan langkah yang tepat. Namun, implementasi program ini di lingkungan pesantren masih menghadapi tantangan besar. Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Nanik S. Deyang, mengungkapkan bahwa dari total 11 juta santri dan 1 juta pengajar di seluruh pesantren, baru sekitar dua persen yang menjadi penerima manfaat MBG.

Baca Juga : Kewajiban Salat Jumat bagi Laki-laki Muslim: Dalil Syar’i dan Ancaman Meninggalkannya

Angka yang masih minim ini memunculkan pertanyaan serius mengenai efektivitas dan arah strategis MBG di pesantren ke depan. Akankah MBG mampu menjadi solusi efektif dalam meningkatkan gizi dan kualitas pendidikan santri, atau justru menimbulkan persoalan baru jika tidak dimitigasi dengan baik? Kompleksitas dan keragaman unik yang melekat pada dinamika pesantren menuntut perencanaan yang sangat hati-hati.

Keragaman Pesantren dan Kompleksitas Kebutuhan Pangan

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 pesantren dengan variasi ukuran yang ekstrem, mulai dari yang berskala kecil dengan kurang dari seribu santri, hingga pesantren besar yang menampung belasan bahkan puluhan ribu santri, terutama di Jawa, Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Keragaman jumlah santri ini secara langsung memengaruhi pengelolaan kebutuhan pangan. Umumnya, santri sepenuhnya bergantung pada pasokan pangan yang disediakan oleh pesantren, membuat keberadaan dapur umum menjadi sebuah keniscayaan. Biaya operasional dapur umum memang tidak sedikit, namun biasanya dapat terpenuhi, bahkan menghasilkan surplus bagi pesantren, berkat jejaring kuat yang dimiliki pesantren dengan masyarakat lokal, donatur, dan alumni.

Berdasarkan realitas ini, implementasi MBG di pesantren sangat kompleks, meskipun potensi dampak ekonomi dan gizinya tergolong besar. Oleh karena itu, mitigasi serius harus dilakukan sebelum program ini dijalankan secara masif.

Mitigasi dan Rekomendasi Struktural MBG Pesantren

Beberapa aspek krusial dari MBG pesantren yang memerlukan mitigasi mendalam mencakup:

  1. Ketimpangan Kapasitas Pesantren (capacity gaps).
  2. Keterbatasan Dapur dan Pembiayaan (lack of appropriate kitchen and funding).
  3. Standar Keamanan dan Mutu Pangan (food safety and quality).
  4. Rantai Pasok dan Logistik Pangan (food logistic and distribution).

1. Skala Prioritas dan Model Dapur

Variasi jumlah santri yang ekstrem menjadi tantangan utama. Untuk mengatasi ini, perlu ada skala prioritas yang terukur. Di tahap awal, pesantren besar (di atas 4.000 santri) dapat menjadi prioritas utama. Secara bertahap, prioritas dapat diperluas ke pesantren skala menengah (1.000–4.000 santri), dan kemudian ke pesantren kecil (di bawah 1.000 santri).

Pembangunan Satuan Pelaksana Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG dimungkinkan di pesantren besar. Sementara itu, untuk pesantren kecil atau yang terletak di daerah terpencil, model dapur klaster perlu dikembangkan. Pemutakhiran data santri yang akurat sangat penting dalam pengelompokan pesantren dan perencanaan pembangunan SPPG.

2. Standarisasi dan Pembiayaan Dapur

Dapur MBG pesantren harus memenuhi standar mutu dan keamanan pangan nasional. Standarisasi dapur, pemberian pelatihan, dan sertifikasi bagi pengelola dapur pesantren menjadi krusial. Harapannya, seluruh proses, mulai dari penyimpanan bahan baku, pengolahan, manajemen limbah, pengemasan/penyajian, hingga pendistribusian, dapat sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan keamanan pangan.

Mengingat realitas bahwa banyak pesantren tidak memiliki pembiayaan yang memadai untuk pembangunan dapur berstandar, model pembiayaan campuran (hybrid financing) dianjurkan. Model ini dapat mengombinasikan pendanaan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pusat Investasi Pemerintah (PIP), organisasi keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah), donatur, dan investasi sosial.

3. Integrasi Rantai Pasok Lokal

Untuk mewujudkan integrasi rantai pasok yang efisien, perlu didorong kemitraan antara pesantren dengan pemasok lokal, seperti petani, nelayan, dan UMKM, guna memenuhi kebutuhan bahan pangan MBG (misalnya sayur, ikan, telur, dan beras). Selain itu, pendirian koperasi pesantren perlu didorong sebagai pusat logistik pangan untuk MBG.

Pengawasan dan Transparansi Berbasis Hierarki Pesantren

Pengawasan, evaluasi, dan transparansi publik merupakan aspek yang tidak mudah diterapkan di pesantren karena karakteristik hierarki yang khas. Kyai (atau pemimpin pesantren) memegang otoritas utama, pengurus bertindak sebagai pelaksana teknis, sementara santri adalah penerima manfaat sekaligus pengawas.

Pengawasan harus melibatkan lebih dari sekadar santri. Diperlukan transparansi melalui pelaporan berkala dan audit partisipatif, pelibatan Kementerian Agama sebagai verifikator, serta pengawasan dari masyarakat lokal.

Dengan mengintegrasikan budaya pesantren ke dalam sistem MBG, disertai pengawasan dan transparansi teknis yang baik, program ini diharapkan dapat berjalan efektif, akuntabel, dan berkelanjutan. Kesimpulannya, MBG berpotensi besar meningkatkan gizi santri dan menggerakkan ekonomi lokal. Mitigasi yang matang, standarisasi, pendanaan berkelanjutan, serta transparansi akan mengurangi risiko kegagalan, bahkan menjadikan MBG pesantren sebagai model percontohan intervensi gizi berbasis lembaga pendidikan keagamaan.

Anda mungkin juga suka...