Keputusan mantan petinggi Partai NasDem, Ahmad Ali dan Bestari Barus, untuk secara resmi bergabung dan dilantik menjadi kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah memicu perbincangan. Kedua politikus senior ini kini mengisi posisi penting di PSI, dengan Ahmad Ali menjabat sebagai Wakil Ketua Pembina. Apa yang melatarbelakangi ‘penyeberangan’ politik yang cukup mengejutkan ini?
Baca Juga : IHSG Bangkit di Pembukaan Akhir Pekan, Kembali Sentuh Level 8.040
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, menduga ada setidaknya tiga faktor utama yang mendorong kepindahan tersebut, termasuk dugaan adanya pengaruh dari Presiden Joko Widodo.
- Hubungan yang Memburuk dengan NasDem
Menurut Adi Prayitno, alasan paling mendasar adalah adanya keretakan hubungan antara Ahmad Ali dan Bestari Barus dengan Partai NasDem. Ini merupakan dinamika alami di dunia politik.
“Unsur ketidakcocokan menjadi sebab utama. Mungkin karena beda visi-misi, beda cara pandang, beda kepentingan, atau mungkin juga soal peran-peran di NasDem yang mulai berkurang,” ujar Adi Prayitno pada Sabtu (27/9/2025).
Adanya perbedaan yang makin melebar, baik secara ideologis maupun dalam pembagian peran di internal, seringkali menjadi pemicu bagi seorang elite politik untuk mencari ‘pelabuhan’ baru.
- Posisi Strategis di PSI: Daya Tarik Peran Kunci
Faktor kedua yang diduga kuat menjadi penarik adalah tawaran posisi yang jauh lebih strategis dan terhormat di PSI. Ahmad Ali kini menempati posisi mentereng sebagai Wakil Ketua Pembina, dan Bestari Barus juga dipastikan mendapat peran penting.
“Apapun judulnya, posisi seperti Wakil Ketua Pembina dan peran terhormat lainnya sangat vital dalam sebuah partai yang bisa mengorkestrasi kepentingan partai ke depan. Tidak semua orang bisa di posisi ini,” jelas Adi.
Bagi politikus berpengalaman, mendapatkan peran kunci yang memungkinkan mereka untuk memengaruhi arah dan kebijakan partai seringkali lebih penting daripada sekadar menjadi anggota. PSI, sebagai partai yang sedang berupaya lolos ke parlemen, tampaknya memberikan jaminan peran sentral tersebut.
- Dugaan ‘Faktor Jokowi’ Sebagai Magnet Utama
Dugaan yang paling menarik perhatian adalah adanya peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) di balik kepindahan ini, terutama bagi Ahmad Ali. Selama ini, Ahmad Ali dikenal memiliki kedekatan personal yang cukup baik dengan Presiden Jokowi.
“Ahmad Ali khususnya selama ini dinilai publik punya kedekatan cukup baik dengan Jokowi. Karena apapun judulnya, Jokowi adalah imam besar-nya PSI,” kata Adi.
PSI secara terbuka dikenal sebagai partai yang sangat loyal dan mengidentifikasi diri sebagai penerus visi Presiden Jokowi. Dengan bergabung ke PSI, para politikus yang dekat dengan Presiden diperkirakan akan memiliki jalur komunikasi dan pengaruh yang lebih kuat, selaras dengan politik yang sedang berlaku. Ini menempatkan PSI sebagai ‘rumah’ politik yang aman bagi loyalis Jokowi.
Tanggapan Santai dari NasDem
Di sisi lain, Partai NasDem menanggapi kepindahan dua kadernya dengan santai, bahkan cenderung sinis. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu NasDem, Hermawi Taslim, menyatakan bahwa pihaknya justru merasa senang.
Hermawi menyinggung kegagalan Ahmad Ali dan Bestari Barus untuk lolos ke Senayan dalam pemilu sebelumnya. “Kalau benar mereka berpindah partai, ya ndak apa-apa berarti mereka otomatis kehilangan hak keanggotaan Partai NasDem. NasDem ikut senang keduanya mencoba peruntungan di partai baru, setelah gagal jadi anggota legislatif pada pemilu lalu, semoga sukses,” kata Hermawi.
Ia bahkan menggunakan momentum ini untuk mengklaim keberhasilan kaderisasi di partainya.
“NasDem senang karena eks kadernya dipakai di partai lain, ini satu bukti bahwa kaderisasi NasDem diakui dan dianggap baik oleh partai lain, minimal oleh partai yang belum lolos ambang batas parlemen,” pungkas Hermawi, menyindir PSI yang belum memiliki kursi di DPR RI.
Terlepas dari perdebatan ini, Adi Prayitno menegaskan bahwa pindah partai adalah hal yang lumrah dalam politik Indonesia yang ia nilai sangat “longgar”. Perpindahan elite dari satu partai ke partai lain bukanlah kejadian baru dan akan terus terjadi selama rekrutmen politik di Indonesia masih bersifat cair.