Kenaikan harga bahan pokok, khususnya daging ayam dan telur, mulai memberikan dampak signifikan terhadap operasional warung tegal (warteg). Para pedagang warteg kesulitan menaikkan harga jual menu andalan mereka, sehingga harus mencari cara lain untuk menghindari kerugian, yaitu dengan mengurangi ukuran porsi lauk.
Baca Juga : Klarifikasi Pengelola TMR: Kabar Harimau Ragunan Kurus Akibat Pencurian Pakan Tidak Benar
Strategi Pedagang Warteg Menghadapi Kenaikan Harga
Ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, membenarkan adanya kenaikan harga daging ayam dan telur. Menurutnya, kondisi ini sangat memengaruhi daya beli masyarakat yang masih belum pulih sepenuhnya. Pedagang warteg terpaksa harus “memutar otak” agar harga menu tetap stabil.
1. Penyesuaian Ukuran Telur: Untuk menu berbasis telur, pedagang kini memilih telur dengan ukuran (size) yang lebih kecil. Tujuannya adalah untuk memastikan jumlah butir telur yang didapat per kilogram tetap banyak, sehingga dapat menghemat biaya tanpa menaikkan harga per porsi. Mukroni menjelaskan:
“Sangat berpengaruh, daya beli yang belum baik, sementara harga bahan pokok tidak baik karena ada kenaikan harga. Ini membuat pedagang warteg memutar otak agar menu tetap tidak naik (harga) dengan memilih telur yang size (ukurannya kecil) kilonya banyak.”
2. Pengecilan Potongan Ayam: Langkah serupa juga diterapkan pada menu daging ayam. Ukuran potongan ayam diperkecil secara signifikan. Sebagai contoh, jika sebelumnya satu ekor ayam dipotong menjadi 10 bagian, kini dipotong menjadi 12 bagian.
“Potongan ayam yang tadinya 1 ekor dipotong 10 menjadi 12 potong agar harga tetap sama, tapi sizenya dikurangin (lebih kecil),” terangnya.
Saat ini, harga menu lauk di warteg, menurut Mukroni, biasanya dijual di kisaran Rp 7.000 per potong ayam, Rp 5.000 per butir telur, dan Rp 3.000-an untuk sayuran. Dengan strategi pengecilan porsi ini, pedagang berharap dapat mempertahankan harga jual tersebut.
Dugaan Pemicu Kenaikan Harga
Mukroni menduga bahwa kenaikan harga daging ayam dan telur ini dipicu oleh peningkatan permintaan yang signifikan, terutama dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ayam dan telur merupakan pilihan bahan baku protein yang relatif murah dibandingkan dengan daging sapi atau ikan.
“Kenaikan bahan pokok seiring dengan permintaan, program Makan Bergizi Gratis, setelah dapur-dapur dari BGN berjalan banyak permintaan terhadap bahan-bahan pokok, terutama seperti ayam, telur karena murah dibandingkan bahan lauk lain seperti daging dan ikan,” ungkapnya.
Data Harga dan Desakan Kepada Pemerintah
Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) Bank Indonesia per 17 November 2025, harga daging ayam secara rata-rata nasional memang menunjukkan tren kenaikan, dari Rp 37.600/kg pada 16 November menjadi Rp 38.650/kg.
Secara nasional, harga rata-rata ini masih di bawah Harga Acuan Penjualan (HAP) di konsumen yang ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional sebesar Rp 40.000/kg. Namun, di beberapa daerah, harga telah melampaui HAP tersebut.
- Jakarta: Rata-rata Rp 38.500/kg. Harga tertinggi terpantau di Pasar Kramatjati (Rp 40.500/kg), sementara di Pasar Minggu dan Pasar Jatinegara masing-masing Rp 38.500/kg dan Rp 36.550/kg.
- Bogor: Rata-rata Rp 39.000/kg. Harga tertinggi mencapai Rp 42.000/kg di Pasar Anyar Bogor, dan Rp 40.000/kg di Pasar Warung Jambu 2.
Menyikapi kondisi ini, Kowantara mendesak pemerintah untuk segera turun tangan. Mukroni berharap Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional dapat memantau harga dan mengambil tindakan nyata.
“Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Badan Pangan Nasional untuk memantau harga dan menyikapi kenaikan harga dengan meningkatkan suplai untuk mengantisipasi permintaan kebutuhan mendadak,” tutup Mukroni.
