Jakarta – Kawasan Menteng di Jakarta Pusat telah lama menjadi simbol kemewahan dan hunian elite, dikenal dengan rumah-rumah besar dan arsitektur menawan yang identik dengan status sosial tinggi. Namun, di balik citra gemerlap tersebut, tersembunyi sebuah kontras sosial yang mencolok—area permukiman kumuh yang dihuni ribuan warga, menciptakan kesenjangan ekstrem di jantung ibu kota.
Baca Juga : Tren Penguatan Berlanjut: Harga Emas Antam Kembali Merangkak Naik
Kontras ini menjadi sorotan ketika Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), turun langsung mengunjungi permukiman padat penduduk di RT 015 RW 001 Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng.
Realita Pilu di Tengah Kawasan Elite
Dalam kunjungannya pada Jumat (14/11/2025) di Jl. Menteng Jaya, Ara mendapati dua unit rumah yang kondisinya sangat tidak layak huni. Kerusakan parah terlihat jelas, terutama pada bagian atap yang bocor dan lantai yang rusak, membahayakan keselamatan penghuninya.
“Ini ada di Menteng, Kelurahan Menteng, yang kesenjangannya sangat tinggi,” ujar Ara, menekankan ironi lokasi rumah-rumah tersebut yang berdekatan dengan kawasan paling mahal di Jakarta.
Data dari Lurah Menteng, Indrawan Prasetio, memperkuat adanya jurang pemisah ini. Kelurahan Menteng memiliki 10 Rukun Warga (RW). Empat RW dihuni oleh permukiman elite yang tidak padat penduduk, sementara enam RW lainnya merupakan permukiman padat dan tergolong kumuh.
“Dari 29 ribu jumlah penduduk, kalau dipisahkan, 6 RW yang padat penduduk itu ada 24 ribu jiwa, sedangkan sisanya 5 ribu itu berada di RW yang tidak padat,” jelas Indrawan.
Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kelurahan Menteng—sekitar 83%—tinggal di wilayah padat, menggarisbawahi skala masalah permukiman yang perlu segera diatasi.
Solusi Gotong Royong Tanpa APBN
Awalnya, Menteri Ara berencana memanfaatkan program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari pemerintah untuk merenovasi rumah-rumah tersebut. Namun, kendala administrasi muncul: kedua rumah tidak memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), yang menjadi syarat utama program BSPS.
Menghadapi hambatan birokrasi ini, Ara memutuskan untuk mengambil langkah cepat dan inovatif: renovasi akan dibiayai sepenuhnya melalui dana swasta secara gotong royong, tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Ini kita renovasi tanpa uang negara biar cepat jalan,” tegasnya, memprioritaskan kecepatan penanganan demi kesejahteraan warga.
Komitmen ini langsung diwujudkan dengan pengumpulan donasi spontan. Untuk rumah pertama yang dikunjungi, total dana yang terkumpul mencapai Rp 134 juta. Sebagai bentuk kepemimpinan dan inisiatif, Ara sendiri menyumbang dana pribadi sebesar Rp 100 juta untuk masing-masing dua rumah yang akan direnovasi.
“Kita gotong royong, saya Rp 100 juta [untuk masing-masing rumah],” kata Ara.
Rencananya, proses pembongkaran akan segera dilakukan, dan renovasi total kedua rumah tidak layak huni ini dijadwalkan akan dimulai pada Senin, 24 November 2025. Inisiatif gotong royong ini diharapkan menjadi model percepatan penanganan permukiman di wilayah dengan kasus kesenjangan tinggi, membuktikan bahwa solidaritas komunitas dapat mengatasi hambatan birokrasi demi memastikan setiap warga negara mendapatkan tempat tinggal yang layak.
