Penangkapan Gubernur Riau: Membongkar Praktik Pemerasan 'Jatah Preman' Senilai Rp 7 Miliar
Ekonomi Politik

Penangkapan Gubernur Riau: Membongkar Praktik Pemerasan ‘Jatah Preman’ Senilai Rp 7 Miliar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencetak keberhasilan melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang menargetkan Gubernur Riau, Abdul Wahid. Penangkapan ini membuka tabir praktik pemerasan yang diduga kuat dilakukan oleh Abdul Wahid di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.

Baca Juga : Gagasan Monumental Lembaga Pengelolaan Dana Umat (LPDU): Pusat Keuangan Syariah Ikonik 40 Lantai di Jantung Jakarta


Saat ini, KPK telah menetapkan tiga individu sebagai tersangka:

  1. Abdul Wahid (Gubernur Riau)
  2. M. Arief (Kepala Dinas PUPR Riau)
  3. Dani M. Nursalam (Tenaga Ahli Gubernur Riau)

Ketiganya diduga terlibat dalam persekongkolan jahat terkait pemerasan dana sebesar Rp 7 miliar dari jajaran di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Riau.

Modus Operandi dan Kode ‘Jatah Preman’

Dalam menjalankan aksi culasnya, komplotan ini menggunakan istilah khusus, yakni ‘jatah preman’ atau fee tertentu yang wajib disetorkan kepada Gubernur Abdul Wahid. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan istilah ini sebagai bagian dari modus operandi kasus tersebut.

“Ada semacam japrem/jatah preman sekian persen begitu untuk kepala daerah. Itu modus-modus yang kami temukan,” jelas Budi Prasetyo di gedung KPK, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Ancaman Mutasi Bagi Pembangkang

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengungkap adanya ancaman serius yang digunakan Abdul Wahid untuk memastikan setoran ‘jatah preman’ ini terlaksana.

“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” ungkap Johanis Tanak.

Kasus ini bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR Riau, Ferry Yunanda, bertemu dengan enam Kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Hasil pertemuan ini dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR Riau, M. Arief. Namun, M. Arief yang bertindak mewakili Gubernur Abdul Wahid, lantas meminta fee sebesar 5 persen dari total proyek atau setara dengan Rp 7 miliar.

Permintaan ini kemudian disepakati dalam pertemuan lanjutan oleh seluruh Kepala UPT dan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau, memastikan besaran fee sebesar 5% untuk AW (Abdul Wahid). KPK menduga, dari total permintaan Rp 7 miliar, setidaknya sudah ada Rp 4 miliar yang diserahkan secara bertahap.

Barang Bukti Uang Tunai dalam Tiga Mata Uang

Saat OTT berlangsung, KPK berhasil mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk uang tunai dengan total nilai setara Rp 1,6 miliar.

Mata UangLokasi PengamananPerkiraan Nilai Rupiah
RupiahRiauRp 800 Juta
Dolar Amerika Serikat (USD 3.000) & Pound Sterling (9.000 GBP)JakartaRp 800 Juta
Total KeseluruhanRp 1,6 Miliar

Pengamanan barang bukti ini melibatkan serangkaian tindakan. Di Riau, KPK awalnya menangkap 7 orang, termasuk Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau (MAS), Sekretaris Dinas (FRY), dan lima Kepala UPT Wilayah.

Sementara itu, Gubernur Abdul Wahid (AW) sempat diduga bersembunyi sebelum akhirnya ditemukan di salah satu kafe di Riau. Uang dalam mata uang asing diamankan saat penggeledahan dan penyegelan rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan.

Tujuan Penggunaan Dana Haram

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengendus adanya indikasi penggunaan dana ‘jatah preman’ untuk kepentingan pribadi Gubernur.

“Untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya,” kata Asep Guntur Rahayu.

Dana tersebut, salah satunya, diduga akan digunakan Abdul Wahid untuk perjalanan ke luar negeri, dengan rencana destinasi mencakup Inggris, Brasil, dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa praktik pemerasan tersebut tidak hanya dilakukan untuk memperkaya diri, tetapi juga untuk membiayai gaya hidup mewah sang kepala daerah.

Anda mungkin juga suka...